Rabu, 12 Maret 2014

THERAPHY SENSORI INTEGRASI

Membantu perkembangan dan pertumbuhan anak anda dengan terapi yang membantu perkembangan mental anak anda.
Pelayanan Terapi untuk kasus Anak yang meliputi:
    * Autism Spectrum Disorder
    * ADD, ADHD
    * Asperger's Syndrome
    * Hiperaktif
    * Keterlambatan Perkembangan
    * Cerebral Palsy
    * Brain Injury
    * Down Syndrome
    * Disorder/PDD
    * Gangguan Belajar
    * Gangguan Bicara/terlambar bicara
    * Trauma, susah tidur, Epilepsi
    * Stroke & Parkinson


TERAPI WICARA
Kalangan orang tua dianjurkan bersikap waspada ketika mendapati anaknya sejak lahir sampai usia 2 tahun tak pernah ngoceh dan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Karena itu merupakan indikasi awal keterlambatan bicara pada anak yang merupakan satu dari sekian gangguan psikis dan kejiwaan anak. Gejala keterlambatan bicara pada anak itu makin perlu penanganan khusus jika memiliki gangguan komunikasi dan keterbelakangan lainnya.
Keterlambatan bicara pada anak merupakan gangguan psikis dan mental yang perlu perhatian khusus dari orang tua. Pasalnya, fenomena psikis ini menghambat perkembangan mental dan pertumbuhan fisik sampai dewasa. Ada beberapa simptoms yang dapat dicermati untuk mengetahui anak menyandang keterlambatan wicara. Antara lain gaya bicara yang gagap dan gangguan penyampaian bahasa ditinjau dari segi bunyi bahasa, semantik, marfologi, sintaks, dan tata bahasa yang agak menyimpang dari penyampaian anak-anak normal sebayanya.
Terapi Wicara adalah ilmu yang mempelajari perilaku komunikasi yang normal dan abnormal, yang digunakan untuk memberikan terapi (proses penyembuhan) pada penderita gangguan perilaku komunikasi yang meliputi kemampuan bahasa, bicara, suara, irama kelancaran, sehingga penderita gangguan prilaku komunikasi mampu berinteraksi dengan lingkungan secara wajar, tidak mengalami gangguan psiko-sosial serta mampu meningkatkan hidup optimal.
Gangguan bahasa bicara bisa terjadi pada kondisi-kondisi :
    * Autisme
    * ADD/ADHD
    * Tuna Rungu
    * Cerebral Palsy
    * Mental Retardasi
    * Gangguan Tumbuh Kembang
    * Pasca Serangan Stroke
    * Pasca Pengangkatan Laring
    * Celah langit-langit
    * Gagap

Anak autis misalnya, walaupun ada gangguan bicara tetapi sebenarnya bisa mendengar. Walaupun tidak/belum bicara tetapi proses pemasukan kosa kata melalui telinga terus berlangsung sejak masih bayi. Kemungkinan besar ia mengerti apa yang didengarnya, hanya saja perlu bantuan untuk bisa berbicara dengan baik. Dalam hal ini peran terapis adalah melatih si anak berkonsentrasi, memperkenalkan prinsip-prinsip berkomunikasi (misal lewat permainan gantian/giliran) dan melatih berbicara (termasuk pengucapannya).
Terapi penanganan masalah keterlambatan bicara pada anak akan mencapai hasil maksimal apabila ditangani oleh terapi wicara anak. Maksimalisasi penanganan terapi anak ini membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Untuk kasus sengau atau cadel butuh terapi intensif minimal 6 bulan. Terapi tersebut butuh waktu lebih lama lagi bagi anak yang menyandang kesultian bicara akibat gangguan pendengaran dan kelainan organ mulut.
Terapi mental diterapkan melalui bimbingan intensif yang bisa dilakukan orang tua di rumah. Dampingi dia dan ajarkan mengucapkan kata-kata pada anak. Dengan rangsangan mengulang itu, jadi rangsangan wicara itu memacu anak untuk mengenal kata-kata dan mengucapkannya dengan menirukan apa yang dia dengar dan dia ucapkan. Rangsangan wicara yang menghubungkan asosiasi kata dan pendengaran itu dikenal dengan auditory bombaten.

TERAPI ABA (APPLIED BEHAVIOR ANALYSIS)
Terapi Applied Behavior Analysis atau ABA sering digunakan untuk penanganan anak autistik. Terapi ini sangat representatif bagi penanggulangan anak spesial dengan gejala autisme. Sebab, memiliki prinsip yang terukur, terarah dan sistematis; juga variasi yang diajarkan luas; sehingga dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, sosial dan motorik halus maupun kasar.
Terapi ABA adalah metode tatalaksana perilaku yang berkembang sejak puluhan tahun, ditemukan psikolog Amerika, Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat, Ivar O. Lovaas (Handojo, 2003:50). Sekitar tahun 1970, ia memulai eksperimen dengan cara mengaplikasikan teori B.F. Skinner, Operant Conditioning. Di dalam teori ini disebutkan suatu pola perilaku akan menjadi mantap jika perilaku itu diperoleh si pelaku (penguat positif) karena mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tidak diinginkan (penguat negatif). Sementara suatu perilaku tertentu akan hilang bila perilaku itu diulang terus-menerus dan mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan (hukuman) atau hilangnya hal-hal yang menyenangkan si pelaku (penghapusan).
Dikarenakan anak autistik mengalami gangguan perilaku, maka harus digantikan dengan perilaku-perilaku wajar. Terapi ini adalah aplikasi ilmu pengetahuan mengenai perilaku yang bertujuan meningkatkan atau menurunkan perilaku tertentu, meningkatkan kualitasnya, menghentikan perilaku yang tidak sesuai, dan mengajarkan perilaku-perilaku baru. Terapi ABA mendasarkan proses pengajaran pada pemberian stimulus (intruksi), respon individu (perilaku) dan konsekuensi (akibat perilaku) menjadi sasaran proses pengajaran dan bimbingan.
Secara prinsip, terapi ABA meliputi 3 langkah memecah keterampilan anak autistik menjadi beberapa bagian atau langkah-langkah kecil. Pertama, terstruktur, yakni pengajaran menggunakan teknik yang jelas. Kedua, terarah, yakni ada kurikulum jelas untuk membantu mengarahkan terapi. Ketiga, terukur, yakni keberhasilan dan kegagalan menghasilkan perilaku yang diharapkan, diukur dengan berbagai cara, tergantung kebutuhan.
Materi pengajaran pada anak autistik harus sesuai dengan perkembangan. Misalnya, keterampilan yang lebih mudah diajarkan lebih dulu. Sedangkan, keterampilan rumit jangan dulu diajarkan sebelum anak menguasai syaratnya. Beberapa kurikulum khusus dalam pengelompokkan keterampilan dan kemampuan anak autistik diantaranya:
1.        Kemampuan untuk memperhatikan. Ini adalah sikap belajar yang diperlukan untuk
bersekolah dan bekerja. Apabila seorang anak tidak mampu memperhatikan dalam rentang waktu beberapa menit, ia akan mengalami kesulitan mencerna pelajaran atau mendengarkan instruksi.
2.        Meniru atau imitasi. Pada saat anak diminta meniru, tidak muncul perkataan apapun dari seorang terapis kecuali hanya kata “tiru”, “lakukan” atau “coba”. Pada posisi ini, anak autistik dituntut melakukannya seperti yang dicontohkan. Materi imitasi dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu: imitasi motorik kasar, imitasi motorik halus, imitasi aksi dengan benda, imitasi suara (sehingga anak belajar berbicara karena diarahkan meniru kata-kata orang lain), imitasi pola balok (untuk mempersiapkan anak belajar menulis), sampai imitasi perilaku bermain.
3.        Memasangkan. Anak autistik dituntut mengenali sesuatu yang dikelompokkan atas ciri-ciri tertentu. Kemampuan ini meliputi kemampuan men-sortir dan mengerjakan worksheet. Misalnya, piring pasangannya gelas, pena merupakan alat tulis, stasiun, hotel, kolam renang adalah tempat. Instruksi yang diberikan, “pasangkan”, “cari yang sama”, “mana yang sama” atau kata-kata lain yang bermakna sama, sehingga anak mencari pasangan yang diperlihatkan.
4.        Identifikasi. Anak autistik diminta menetapkan pilihan dengan memegang, mengambil, atau menunjuk satu dari beberapa hal. Teknik ini memungkinkan kita memeriksa apakah anak paham berbagai konsep (reseptive languange) tanpa bergantung pada kemampuan bicara mereka. Identifikasi tidak terlalu berbeda dengan labeling, tapi identifikasi anak autistik tidak dituntut secara ekspresif. Pada proses identifikasi, perintah yang diberikan, “pegang”, “tunjuk”, “ambil”, “kasihkan” dan anak diminta memilih satu dari beberapa stimulus.
5.        Labeling atau ekspresi (bahasa pengungkapan). Kemampuan ini memang cukup sulit
karena mengandalkan kemampuan pengungkapan bahasa (expressive languange). Biasanya anak diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan, seperti “apa ini?”, “siapa ini?”, dan “dimana…?”.

Terapi Applied Behavior Analysis (ABA) anak autistik, mesti mendasarkan proses pengajaran pada pemberian stimulus (intruksi), respon individu (perilaku) dan konsekuensi (akibat perilaku). Ketika melaksanakan teknik ini, seorang terapis atau helper mesti konsisten memberikan stimulus, respon dan konsekuensi yang diberikan. Selain itu,  dibutuhkan juga kemampuan (skill), pengetahuan memadai tentang autisme dan teknik ABA (knowledge). Terakhir, bersikap baik, optimis dan memiliki minat perasaan (sense) terhadap anak spesial autistik sangat menentukan proses terapi yang berkelanjutan.




TUGAS KELOMPOK
STIMULASI DAN INTERVENSI ABK


                                               






Nama kelompok:
1.    GALIH PRATIWI                               NIM:41032102101144
2.    GINA SONIA                                       NIM:41032102101207

3.    RAISYA JOURDAN AMBARONA NIM:41032102101143
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!