Jumat, 19 Oktober 2012

Seringkali kita menyaksikan hal ini di masjid-masjid. Ketika imam selesai salam, ada jama’ah yang telat, lantas ia bermakmum di belakang makmum masbuk (yang sudah shalat dengan imam pertama). Bolehkah bermakmum semacam ini? Mari kita lihat penjelasan dari ulama besar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
.

Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni yang digelari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya,

عَنْ رَجُلٍ أَدْرَكَ مَعَ الْجَمَاعَةِ رَكْعَةً فَلَمَّا سَلَّمَ الْإِمَامُ قَامَ لِيُتِمَّ صَلَاتَهُ فَجَاءَ آخَرُ فَصَلَّى مَعَهُ فَهَلْ يَجُوزُ الِاقْتِدَاءُ بِهَذَا الْمَأْمُومِ؟

“Ada seseorang yang mendapati jama’ah tinggal satu raka’at. Ketika imam salam, ia pun berdiri dan menyempurnakan kekurangan raka’atnya. Ketika itu, datang jama’ah lainnya dan shalat bersamanya (menjadi makmum dengannya). Apakah mengikuti makmum yang masbuk semacam ini dibolehkan?”

Jawaban beliau rahimahullah,
Mengenai shalat orang yang pertama tadi ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad dan selainnya. Akan tetapi pendapat yang benar, perbuatan semacam ini dibolehkan. Inilah yang menjadi pendapat kebanyakan ulama. Hal tadi dibolehkan dengan syarat orang yang diikuti merubah niatnya menjadi imam dan yang mengikutinya berniat sebagai makmum.

Namun jika orang yang mengikuti (yang telat datangnya tadi) berniat untuk mengikuti orang yang sudah shalat bersama imam sebelumnya (makmum masbuk), sedangkan yang diikuti tersebut tidak berniat menjadi imam, maka di sini ada dua pendapat mengenai kesahan shalatnya:

Pendapat pertama: Shalatnya sah sebagaimana pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan selainnya. Pendapat ini juga adalah salah salah pendapat dari Imam Ahmad.

Pendapat kedua: Shalatnya tidak sah. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Alasan dari pendapat kedua ini, orang yang menjadi makmum pertama kali untuk imam pertama (makmum masbuk), setelah imam salam, maka ia statusnya shalat munfarid (sendirian).

Lalu mengenai makmum masbuk tadi yang menyelesaikan shalatnya, semula ia shalat munfarid, ia boleh merubah niat menjadi imam bagi yang lain sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjadi imam bagi Ibnu ‘Abbas tatkala sebelumnya beliau niat shalat munfarid. Seperti ini dibolehkan dalam shalat sunnah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas tersebut. Hal ini pun menjadi pendapat Imam Ahmad dan ulama lainnya. Namun disebutkan dalam madzhab Imam Ahmad suatu pendapat yang menyatakan bahwa seperti ini dalam shalat sunnah tidak dibolehkan. Sedangkan mengikuti shalat makmumm masbuk dalam shalat fardhu, maka di sini terdapat perselisihan yang masyhur di kalangan para ulama. Akan tetapi, yang benar adalah bolehnya hal ini dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah karena yang diikuti menjadi imam dan itu lebih banyak daripada kedaannya shalat munfarid. Oleh karena itu, mengalihkan dari shalat sendirian menjadi imam, itu tidaklah terlarang sama sekali. Berbeda halnya dengan pendapat pertama tadi (yang menyatakan tidak bolehnya). Wallahu a’lam.

Demikian sajian singkat ini dari Majmu’ Al Fatawa (22/257-258). Semoga bermanfaat. (Artikel www.rumaysho.com)

Panggang-GK, 22 Jumadits Tsani 1431 H (04/06/2010)
oleh: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal


Ditulis oleh Dewan Asatidz 


Assalamualaikum
Tanya: Sewaktu Saya sholat sunnah, dari belakang ada yang menjadi makmum dengan menepuk pundak saya terlebih dahulu. Bagaimana sikap Saya yang benar dan apa hukumnya. Terima Kasih. Wassalamualaikum

Sri Soedono


[Jawab]

Perbedaan niat imam dan makmum

Fenomena yang sering menimbulkan pertanyaan di kalangan kaum muslimin Indonesia adalah manakala seorang sholat sunnah sendiri, misalnya sholat sunnah ba'diyah, atau sholat fardlu sendiri kemudian datanglah seseorang yang bermakmum kepadanya dengan menepuk pundak si mushalli pertama, sahkah sholat seperti ini? Permasalahan ini dalam kitab fikih dibahas dengan judul perbedaan niat imam dan makmum. Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara sholat seperti itu.

Pendapat pertama adalah madzhab Syafi'I mengatakan bahwa sah sholat jamaah dengan perbedaan niat imam dan makmum secara mutlak. Jadi meskipun imam sholat sunnah dan makmum sholat fardlu, imam sholat dhuhur dan makmum sholat ashar, imam sholat ada' dan makmum sholat qadla, semuanya sah, asalkan format sholat imam dan makmum sama. Kalau formatnya beda, maka tidak sah, seperti misalnya imam sholat gerhana dan makmum sholat isya', maka tidak diperbolehkan. Madzhab Syafi'I ini merupakan madzhab yang paling longgar.

Pendapat kedua adalah madzhab Maliki yang mengatakan tidak sah sholat imam dan makmum yang berbeda niatnya, secara mutlak. Mereka yang sholat fradlu tidak boleh bermakmum dengan imam yang sholat sunnah, begitu makmum sholat dhuhur tidak sah bila imamnya sholat selain fardlu. Ini pendapat paling ketat.

Pendapat ketiga adalah madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa boleh orang sholat sunnah di belakang imam yang sholat fardlu tapi tidak sebaliknya. Begitu juga tidak sah sholat makmum yang berbeda dengan sholat imamnya meskipun sama-sama fardlu.

Dalil-dalil:

Dalil pendapat pertama adalah:

1. Hadist riwayat Syafi'I dari Abu Bakrah bahwa Rasulullah s.a.w. keluar untuk mendamaikan satu persengketaan di Bani Sulaim, lalu beliau membagi sahabatnya menjadi dua kelompok, kemudian beliau sholat mengimami dengan kelompok satu, kemudian sholat lagi mengimami dikelompok kedua. Diriwayatkan itu sholat maghrib.

Sangat jelas pada hadist tersebut bahwa Rasulullah mengimami kelompok kedua, padahal beliau telah sholat di kelompok pertama. Berarti sholat Rasulullah sunnah dan sholat makmum fardlu.

2. Hadist riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah bahwa Suatu hari Muadz sholat bersama Rasulullah s.a.w. lalu ia datang ke kaumnya lalu ia mengimami kaumnya sholat Isya' dengan membaca surat Baqarah, lalu seorang lelaki keluar dari jamaah dan menyelesaikan sendiri sholatnya. Orang-orang pun menegurnya "Apakah anda orang manafik?", iapun menjawab"Tidak, aku akan adukan masalah ini kepada Rasulullah". Sesampai kepada Rasulullah, orang itu berkata "Wahai Rasulullah, kami orang-orang bekerja siang, Muzdz telah mengimami kami sholat Isya' telah larut dan membaca surat Baqarah". Ketika Rasulullah mendengar cerita itu, ditegurnya Muad'z "Apakah angkau orang yang suka membuat fitnah? Mengapa tidak kau baca surat Sabbihis dan Wallaili Idza Yaghsyaa".

Hadist ini juga menunjukkan perbedaan sholat imam dan makmum, dimana Muadz telah sholat Isya bersama Rasulullah lalu menjadi imam di kaumnya. Bagi Muadz sholat sunnah dan bagi kaumnya sholat fardlu.

3. Hadist riwayat Ahmad dll. Suatu hari Rasulullah s.a.w. sholat bersama sahabatnya, selesai salam datanglah seorang lelaki ketinggalan lalu ia hendak sholat sendiri, lalu Rasuullah bersabda "Siapa yang mau bersedekah dengan orang ini dengan berjamaah dengannya".

Hadist ini juga menunjukkan sahnya sholat meskipun dengan perbedaan niat antara makmum dan imam.

Imam Syafi'I menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa perbedaan niat sholat antara imam dan makmum tidak membatalkan sholat jamaah.

Dalil pendapat kedua dan ketiga:

1. Hadist diriwayatkan Bukhari dan Muslim dll. Rasulullah s.a.w. bersabda "Sesungguhnya dijadikan imam untuk diikuti, ketika ia takbir maka takbirlah, ketika ruku' maka ruku'lah ketika sujud sujudlah, ketika ia sholat berdiri maka berdirilah …

Hadist tersebut menegaskan bahwa makmum harus mengikuti imam, perbedaan niat makmum menunjukkan sikap tidak mengikuti imam, maka tidak sah sholatnya.

2. Hadist riwayat Ashabus Sunan dari Barra' bin Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda "Janganlah kalian berbeda, maka berbedalah hati kalian, sesungguhnyaAllah dan MalakatNya mendoakan para mushalli di shaf pertama".

Hadist ini melarang berbeda dalam melakukan sholat, baik pada shaf maupun niat, maka perbedaan niat imam dan makmum menjadikan sholat tidak sah.

Imam Abu Hanifah nampak mencoba menggabung hadist-hadist di atas secara tekstual, bahwa hanya makmum sholat sunnah boleh mengikuti imam yang sholat fardlu seperti yang dicontohkan dalam hadist.

Bagi pengikut madzhab Syafi'I, ketika sholat sendiri kemudian merasa ada makmum yang datang mengikutinya, hendaknya ia tidak menunggu makmum tersebut, misalnya dengan memperpanjang bacaan dlsb, tapi hendaknya ia konsentrasi penuh dengan sholatnya.Bagi yang bermakmum kepada orang yang sholat sendiri atau sholat sunnah, ada baiknya makmum menepuk pundak mushalli. Menepuk pundak mushally [orang yang salat] adalah sebuah isyarat adanya seseorang yang hendak bermakmum kepadanya. Demikian ini agar ia melakukan niat menjadi imam. Karena tanpa niat tersebut ia tidak mendapatkan pahala berjamaah. Sementara jamaah itu sendiri adalah sah, tanpa ada niat dari imam, selama makmum telah berniat jamaah. Jadi, niatnya imam hanya untuk dirinya sendiri, agar ia mendapatkan pahala berjamaah.

Untuk wanita yang ingin berjamaah dengan seseorang yang masbuk, ia boleh menepuk pundak jika dirasa tidak menimbulkan fitnah. Dan jika dirasa demikian, ia boleh memberi isyarat apapun yang dapat dipahami oleh masbuk tsb. atau jika sulit, tak perlu ia memberi isyarat. mengetahuinya imam akan adanya seseorang yang bermakmum kepadanya tidak merupakan syarat sah-nya berjamaah. Ketentuan ini tidak untuk salat Jum'at. Karena di antara syarat sahnya salat jumat adalah dilaksanakan secara berjamaah. Pada salat Jum'at ini, imam harus berniat jamaah sejak takbiratul ihram.





KESABARAN
Kesabaran merupakan bentuk dari pengendalian emosi yang sangat stabil dari seorang anak manusia, kemampuan untuk tidak mudah terpancing ego atau tidak mudah terbakar amarah dalam menghadapi suatu masalah menunjukkan kemampuan seseorang untuk ber sikap dewasa atau matang dalam berpikir dan bertindak. Dalam sebuah hubungan, tanpa adanya kesabaran, sulit untuk menjalin atau menciptakan sebuah hubungan yang awet dan langgeng.

PENGERTIAN
Kemampuan untuk mengatur ego yang dimiliki dengan memberikan ruang dan waktu buat pasangan melakukan aktivitas individualnya, saling mengerti dan saling toleransi terhadap pasangan, berusaha memahami tindak tanduk pasangan serta tidak menuntut pasangan untuk menjadi pribadi di luar kemampuannya merupakan modal untuk membangun sebuah hubungan yang nyaman dan menentramkan. Sikap pengertian terhadap pasangan menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang dalam menjalin sebuah hubungan, semakin tinggi rasa toleransi terhadap pasangan maka dapat dianggap semakin dewasa dalam berhubungan.

PENGHARGAAN
Sikap tenggang rasa perlu dibangun supaya hubungan tetap harmonis. Sikap saling hormat-menghormati dan saling menghargai akan menumbuhkan rasa percaya diri, kekaguman, cinta kasih, serta dukungan yang baik bagi perkembangan hubungan. Penghargaan terhadap pasangan dalam suatu ikatan akan memberikan efek yang nyaman dan menentramkan, tentunya hal ini akan memberikan efek positif yang dapat membuat hubungan menjadi awet, langgeng dan selalu mesra.

TANGGUNG JAWAB
Hubungan yang dewasa diwarnai dengan sikap penuh tanggung jawab, di mana setiap keputusan diambil dengan sepenuh hati dan benar-benar dilaksanakan. Kesiapan untuk menerima kelebihan maupun kekurangan pasangan serta kebersediaan untuk mempertahankan hubungan supaya hubungan tetap harmonis dan tidak mengingkari janji ikatan merupakan wujud tanggung jawab yang sesungguhnya.

KEPERCAYAAN
Mempercayai pasangan adalah wujud tindakan selanjutnya dari saling mengerti yang dibangun antar pasangan. Tanpa kepercayaan berarti tidak ada pengertian dalam hubungan. Kemampuan untuk mengendalikan rasa cemburu atau kemampuan dalam memberikan kepercayaan pada pasangan merupakan wujud kedewasaan seseorang dalam sebuah hubungan. Hanya orang yang terlalu kekanak-kanakan yang mudah terbakar cemburu dan gampang kehilangan kepercayaan dengan pasangannya.

Kamis, 18 Oktober 2012

Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan.[1] Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah dengan nyata membiasakan tradisi yang semestinya tidak mereka lakukan.


Aktivitas berpacaran

Tradisi pacaran memiliki variasi dalam pelaksanaannya dan sangat dipengaruhi oleh tradisi individu-individu dalam masyarakat yang terlibat. Dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi, hingga akhirnya menjalani hubungan afeksi yang ekslusif. Perbedaan tradisi dalam pacaran, sangat dipengaruhi oleh agama dan kebudayaan yang dianut oleh seseorang. Menurut persepsi yang salah, sebuah hubungan dikatakan pacaran jika telah menjalin hubungan cinta-kasih yang ditandai dengan adanya aktivitas-aktivitas seksual atau percumbuan. Tradisi seperti ini dipraktikkan oleh orang-orang yang tidak memahami makna kehormatan diri perempuan, tradisi seperti ini dipengaruhi oleh media massa yang menyebarkan kebiasaan yang tidak memuliakan kaum perempuan. Sampai sekarang, tradisi berpacaran yang telah nyata melanggar norma hukum, norma agama, maupun norma sosial di Indonesia masih terjadi dan dilakukan secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang tidak mememiliki pengetahuan menjaga kehormatan dan harga diri yang semestinya mereka jaga dan pelihara.

Rabu, 17 Oktober 2012

Salah satu fungsi niat adalah untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain.
Misalnya: seseorang berpuasa bertepatan dengan hari senin pada bulan syawal. bisa jadi itu adalah puasa sunnah hari senin, atau puasa 6 hari di bulan syawal, atau puasa qodho, atau puasa kafarah, atau yang lainnya. Maka untuk menentukan yang mana, didasarkan pada niat yang ada dalam hatinya.
begitu juga dengan ibadah-ibadah yang lain.

seandainya memang benar Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat demikian maka kami hanya bisa mengatakan sebagaimana perkataan Imam Malik rahimahullah, “Setiap orang boleh diambil perkataannya dan boleh ditinggalkan kecuali perkataan penghuni kubur ini (yaitu Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam)”. Karena Nabi tidak pernah memeberikan contoh bahkan tidak pernah melafadzkan niat maka mengucapkan niat dihukumi bidah secara mutlak. Sementara setiap bid’ah adlah sesat dan setiap kesesatan tempatnya dineraka, a’adzanallahu minha.





Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam Masjid, lalu ada seorang laki-laki masuk ke dalam Masjid dan shalat, kemudian orang itu datang dan memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab salamnya kemudian bersabda: “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” Orang itu kemudian mengulangi shalat dan kembali datang menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sambil memberi salam. Namun beliau kembali bersabda: “Kembali dan ulangilah shalatmu karena kamu belum shalat!” Beliau memerintahkan orang ini sampai tiga kali dan akhirnya, sehingga ia berkata, “Demi Dzat yang mengutus tuan dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari itu. Maka ajarilah aku.” Beliau pun bersabda: “Jika kamu mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat yang mudah dari Al Qur’an. Kemudian rukuklah hingga benar-benar rukuk dengan tenang, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk, Setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukanlah seperti cara tersebut di seluruh shalat (rakaat) mu.” (HR. Al-Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397)
Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَتَحَ التَّكْبِيرَ فِي الصَّلَاةِ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ فَعَلَ مِثْلَهُ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَعَلَ مِثْلَهُ وَقَالَ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَلَا يَفْعَلُ ذَلِكَ حِينَ يَسْجُدُ وَلَا حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ
“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memulai shalat dengan bertakbir. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga meletakkan kedua tangannya sejajar dengan pundaknya. Ketika takbir untuk rukuk beliau juga melakukan seperti itu, jika mengucapkan: ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar siapa yang memuji-Nya) ‘, beliau juga melakukan seperti itu sambil mengucapkan: ‘RABBANAA WA LAKAL HAMDU (Ya Rabb kami, milik Engkaulah segala pujian) ‘. Namun Beliau tidak melakukan seperti itu ketika akan sujud dan ketika mengangkat kepalanya dari sujud.” (HR. Al-Bukhari no. 738 dan Muslim no. 390)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah masuk shalat, beliau mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya.” (HR. Abu Daud no. 753, At-Tirmizi no. 240, dan dinyatakan shahih oleh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Sunan At-Tirmizi)
Dan ada yang menafsirkan kata مدّا di sini bermakna: Merapatkan jari-jemari dan tidak memisahkannya.

Penjelasan ringkas:
Takbiratul ihram merupakan salah satu dari rukun shalat -berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas-, dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengajari seseorang mengenai tata cara shalat yang benar. Karena dia adalah rukun, maka shalat dinyatakan tidak syah jika seorang meninggalkan takbiratul ihram, baik dia tinggalkan dengan sengaja maupun karena lupa.
Dan hadits Abu Hurairah serta Ibnu Umar  di atas tegas menunjukkan bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak pernah membuka shalatnya dengan apapun kecuali dengan takbiratul ihram. Karenanya apa yang diucapkan oleh sebagian orang di zaman ini berupa pelafazhan niat dengan mengatakan ‘nawaitu …’ adalah amalan yang keliru dan bertentangan dengan amalan Nabi -alaihishshalatu wassalam-.
Disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan ketika membaca takbiratul ihram, sebagaimana disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan saat akan ruku’, bangkit dari ruku’, dan ketika bangkit menuju rakaat ketiga. Semuanya berdasarkan hadits Abdullah bin Umar di atas.
Adapun sifat mengangkat tangan, maka jari jemari pada kedua telapak tangan dirapatkan (bukan dikepalkan), lalu diangkat: Bisa sampai sejajar dengan bahu -sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar di atas- dan bisa juga sampai sejajar dengan telinga -berdasarkan dalil lain yang shahih-. Dan jari jemarinya hendaknya menghadap ke arah kiblat.

Minggu, 07 Oktober 2012

Kamu mau menikah kadang selalu aja godaan-godaan yang timbul menjelang pernikahan hingga bisa membatalkan pernikahanmu, sangat di sayang sekali bukan kalau kamu mau menikah dan harus di batalkan padahal semua rencana sudah di persiapkan. Tanggal pernikahan pun juga sudah di tetap kan dan semua undangan sudah di sebar dan semua itu batal hanya kaarena godaan-godaan kecil saja. nah kamu mau tahu Godaan Godaan yang Muncul Menjelang Pernikahan ? Simak berikut ini:


1. Mantan pacar kembali
Sakit hati karena diputus masih terasa. Apalagi jika ia cinta pertama. Godaan ini tentunya akan terasa berat. Rasa untuk kembali, rasa ingin memperbaiki dan menjadi yang terbaik, pasti ingin Anda lakukan. Tetapi ingatlah, bahwa dia orang yang telah menyakiti hati Anda, dan masa lalu tak pernah kembali. Ingatlah orang-orang yang sudah membuat Anda untuk bangkit.





2. Mendadak “laris”
Banyak pria tampan yang tiba-tiba mengajak jalan, atau tiba-tiba merasa klik dengan teman baru. Meski niatnya hanya sekadar mengenal atau menjallin hubungan sahabat, sebaiknya hindari. “Jangan main api jika tidak ingin terbakar.”



3. Kekurangan jadi terlihat
Menjelang detik-detik penrikahan, akan membuat Anda dan pasangan semakin dekat. Sisi negatif pun akan terlihat. Yakinkan diri Anda, apakah sisi negatifnya bisa diterima nantinya, atau justru akan membuat huru hara.


Spoilerfor 4: 
4. Menolak masa lalu
Tak ingin ada rahasia, kalian memutuskan untuk bercerita tentang kejadian di masa lalu. Ternyata keterbukaan dan kejujuran itu mendatangkan masalah. Apalagi jika masa lalunya kelam. Jika Anda memang serius, gunakanlah keikhlasan untuk menerima dia apa adanya, dan yakin kalau dia telah berubah. “Mantan penjahat itu lebih baik dari pada mantan orang baik.”



5. Keuangan terbatas
Mempersiapkan tabungan sebelum menikah itu sangat penting. Berembuklah bersama pasangan tentang tema, gedung atau katering yang akan digunakan. Hindarilah meminjam uang atau utang, karena berpotensi merusak kebahagiaan pasca menikah.



6. Waktu yang singkat
Persiapan pernikahan tidak seperti ujian akhir, yang bisa dikerjakan dengan SKS (Sistem Kebut Semalam). Catatlah semua kebutuhan dan tanggal deadline. Jangan pernah berpikir waktu yang Anda miliki masih panjang.



7. Tiba-tiba ragu
Pernikahan tinggal menghitung hari. Anda mendadak ragu, karena dihantui banyak pertanyaan. Misalnya, apakah ia calon ayah dari anak saya nantinya, apakah saya nantinya akan menghabiskan waktu dengan dia, dan apakah ini pernikahan yang saya impikan. Carilah semua jawaban itu dengan berbicara pada pasangan Anda. Jangan mencari jawaban sendiri, karena nantinya Anda akan hidup berdua.



8. Mendapatkan pekerjaan impian
Ketika Anda sibuk mempersiapkan pernikahan, datang tawaran pekerjaan baru yang sudah dinanti. Tetapi di pekerjaan baru ini, Anda tidak boleh terikat pernikahan. Tentunya ini menjadi pilihan sulit, karier, atau pernikahan?



9. Sering bertengkar
Menjelang hari H, Anda semakin sering bertengkar. Hal kecil mungkin bisa menjadi besar. Biasanya ini karena kecemasan dan kegugupan menjelang hari H. Kuncinya hanya satu yaitu kesabaran.



10. Orang tua tidak kompak
Biasanya ini dipicu sifat orangtua yang dominan. Keluarga pihak pria menginginkan A, tetapi pihak wanita tidak setuju, ia lebih menyukain B. Anda dan pasangan sebaiknya bersiap-siap untuk hal yang satu ini. Meski terlihat sepele, perbedaan persepsi antar orangtua berpotensi memicu perpecahan.

NAMA: SARI SUPRIHATIN
KELAS : VII -A
 
LUTUNG KASARUNG

Kacaturkeun di nagara Pasir Batang, Prabu Tapa Ageung ti praméswari Niti Suwari kagungan putra tujuh, istri wungkul. Nu kahiji kakasihna Purbararang, nu kadua Purbaéndah, nu katilu Purbadéwata, nu kaopat Purbakancana, nu kalima Purbamanik, nu kagenep Purbaleuwih jeung nu katujuh Purbasari.
Ngaraos parantos sepuh, Prabu Tapa Ageung ngersakeun ngabagawan, badé tatapa di leuweung.
Nu dicadangkeun ngagentos ngeuyeuk dayeuh ngolah nagara téh lain Purbararang putra cikal, tapi bet Purbasari, putra bungsu.
Atuh munasabah baé, Purbararang asa kaunghak. Amarahna teu katahan, asa dihina asa ditincak hulu. Purbasari diusir ti dayeuh dibuang ka Gunung Cupu.
Kacaturkeun di Kahiangan, Guruminda, putra déwata cikalna, titisan Guriang Tunggal, ngimpén gaduh garwa anu sarupa jeung Sunan Ambu. Saur Sunan Ambu, “Jung, geura boro pijodoeun hidep. Aya nu sakarupa jeung Ambu. Tapi…ulah torojogan, anggo heula ieu raksukan…lutung!”

Janggélék Guruminda minda rupa jadi lutung, katelah Lutung Kasarung.
Kocap deui di nagara Pasir Batang. Prabu Tapa Ageung ngersakeun hayang tuang daging lutung. Nya nimbalan Léngsér kudu mentés Aki Panyumpit ngala lutung ka leuweung.
Aki Panyumpit gasik ngasruk leuweung néangan lutung. Tapi dadak sakala, leuweung jadi sepi taya sasatoan. Bororaah sato kayaning peucang jeung lutung, sireum ogé taya nu ngarayap cék wiwilanganana mah.
Aki Panyumpit téh méh pegat pangharepan. Barang rék mulang, dina tangkal peundeuy bet kabeneran manggih lutung keur guguntayangan. Ari rék disumpit, celengkeung téh lutung nyoara: “Éh, Aki, bet kaniaya. Ulah disumpit! Kuring téh rék ngaku bapa pulung ka Aki. Hayang betah di dunya, hayang nyaho anu dingaranan karaton.”
“Sukur atuh, sok geura turun,” walon Aki Panumpit bengong, aya lutung bisa ngomong. Singhoréng Lutung Kasarung téa. Déwata minda rupa turun ka dunya.
Lutung Kasarung dibawa ku Aki Panyumpit, dihaturkeun ka karaton. Tapi barang rék dipeuncit, taya pakarang nu teurak. Sang Lutung teu bisa dirogahala. Tungtungna mah, saur Ratu, “Léngsér pasrahkeun baé ka anak kami, sugan butuh keur pibujangeun.”
Nya atuh ku Léngsér dipasrahkeun ka Purbararang. Ari walonna téh bet: “Daék sotéh ngabujangkeun, lamun jalma nu utama. Mun lalaki turunan mantri, ari lutung mah sangeuk teuing!” Deregdeg léngsér ka putra nu kadua, teu ditampa. Ka anu katilu, nya kitu kénéh. Pajarkeun téh, lain teu hayang nampa, ngan sieun ku Si Tétéh.
Léngsér mulang deui ka Purbararang, pokna téh,” Nya sok baé atuh, bisi pajar nampik pasihan rama.”
Lutung kasarung tetep di karaton. Belenyeng lumpat ngintip para mojang nu lalenjang keur ngagembrang ninun.
Keur jarongjong ninun, ari koloprak téh taropong Purbararang moncor ka kolong balé.
“Cing Adi, pangnyokotkeun taropong!”
“Ih, Tétéh, apan boga bujang lutung,” Cék Purbaleuwih.
“Cing lutung pangyokotkeun taropong di kolong balé!”
Deregdeg lutung lumpat. Ulang-ileng, top taropong dicokot. Ari béréwék téh dibébékkeun mani jadi lima, sor disodorkeun!
“Jurig lutung, taropong aing sabogoh-bogoh dibébékkeun! Léngsér! Teu sudi kami mah, anteurkeun Si Lutung ka Si Purbasari di leuweung!”
Jut Léngsér turun, Lutung unggeuk, tuluy nuturkeun. Lutung Kasarung ditampa ku Purbasari.
“Éh Mama Léngsér, geunig Si Tétéh aya kénéh adilna. Kajeun lutung, tamba suwung. Kajeun hideung, tamba keueung nu di leuweung. Kajeun goréng, tamba jempé nu nyorangan. Hatur nuhun béjakeun ka Si Tétéh.”
Tutas haturan, Léngsér mulang ka karaton.
Caturkeun di sisi leuweung. Purbasari ngagolér dina palupuh sabébék, di hateup welit sajalon. Lutung kasarung ngangres ningal kaayaan putri. Rep Sang Putri disirep.
“Utun, urang saré jeung kaula. Kula mah banget ku tunduh!”
“Oaah, Sang Putri, lutung mah tara saré jeung manusa, bisi geuleuheun!”
Reup Putri Purbasari kulem tibra pisan.
“Éh, deudeuh teuing. Putri téh nalangsa pisan. Aing rék nénéda ka Sunan Ambu, neda sapaat para bujangga, niat misalin Sang Putri meungpeung saré,” gerentes Lutung Kasarung, Guruminda mamalihan.
Raksukan digédogkeun, bray baranang siga béntang, kakasépan Guruminda kahiangan. Panejana tinekanan, sajiadna katurutan. Jleg ngajenggléng karatonna, leuwih agréng ti nagara. Purbasari dipangku, diébogkeun dina kasur tujuh tumpang, disimbut sutra banggala, disumpal ku benang emas. Janggélék Gurumiinda jadi lutung deui, tapakur di sisi balé kancana.
Kabeungharan jeung kamulyaan Purbasari di gunung kasampir-sampir ka nagara. Purbararang, nu goréng budi ti leuleutik, nu goréng lampah ti bubudak, beuki tambah sirik, beuki tambah ceuceub. Rupa-rupa akal dikotéktak, sangkan aya alesan keur ngarah pati Purbasari.
Mimitna Purbasari diperih pati, kudu bisa mendet parakan Baranangsiang, leuwi Sipatahunan. Mangka saat sapeuting. Mun teu bukti teukteuk beuheung keur tandonna.
Ku pitulung Lutung Kasarung, dibantu Sunan Ambu jeung para bujangga, ieu tanjakan téh laksana.
Tuluy Purbasari dititah ngala banténg ti leuweung. Ku kasaktén Lutung Kasarung, banténg téh katungtun ku Purbasari ka nagara.
Purbasari dipentés nyieun pakarang tatanén étém bingkeng jeung jarum potong, jeung ditangtang pahadé-hadé ngahuma. Geus tangtu Purbasari dibéré pasir anu pangangar-angarna, ari Purbararang mah di tempat nu hadé. Tapi Purbasari unggul kénéh.
Rupa-rupa ékol Purbararang, antukna Purbasari diajak pangeunah-ngeunah olahan, paloba-loba samping, papanjang-panjang buuk, pageulis-geulis rupa. Tapi rayat jeung jaksa nagara mutus teu weléh Purbasari anu unggul.
Tungtungna Purbararang pinuh ku haté dir jeung ujub, ngajak pakasép-kasép beubeureuh, Sagoréng-goréngna beubeureuh manéhna, da pubuh manusa, kakasih Indrajaya. Sakasép-kasépna beubeureuh Purbasari, lutung.
Purbasari éléh, tenggekna kari saketokkeun diteukteuk.
Cunduk kana waktuna, Lutung Kasarung manggih putri panyileukanana. Putri nu sasorot jeung Sunan Ambu, Purbasari. Lutung Kasarung ngagédogkeun raksukanana, baranyay hurung, janggélék jadi Guruminda deui.
Indrajaya ngamuk, tapi teu bisa majar kumaha, kaungkulan kadigjayaanana.
Purbasari ngadeg ratu di Pasirbatang, jadi praméswari Guruminda. Ari Purbararang jeung sadérékna nu opat deui, dihukum kudu jadi pangangon. Indrajaya mah dihukum jadi pangarit, dibekelan arit timah. Ngan anu pangais bungsu, Purbaleuwih, anu welasan ti baheula ka Purbasari, ditikahkeun ka Ki Bagus Lembu Halang, ciciptaan tina raksukan Lutung Kasarung jadi papatih di Pasir Batang.

Selasa, 02 Oktober 2012



Hukum sholat malam adalah sunah muakkad, yaitu mendekati wajib tetapi tidak wajib. Dengan kata lain, shalat malam sangat dianjurkan, itulah sebabnya para orang saleh terdahulu menjadikan shalat malam sebagai kebiasaan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah subhana wa ta'ala'

”Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.” (QS. Al Israa ” 79)

Waktu shalat malam adalah setelah sholat ‘isya sampai dengan sebelum waktu sholat shubuh. Dengan demikian, semua shalat yang dilakukan setelah 'isya (di luar shalat sunat rawatib 2 raka'at setelah 'isya) sampai masuknya waktu shubuh, disebut dengan shalat malam.

Lalu, bagaimana dengan tahajjud? Apakah bedanya dengan shalat malam?

Ibnu Faris berkata, “Adapun orang yang ber-tahajud (اَلْمُتَهَجِّدُ) adalah orang yang salat di waktu malam.” (Lihat Fathul Bari, 3:5, Penerbit Darul Hadits, Kairo, Cet. 1, Thn. 1419 H/1998 M)

Dari terjemahan tersebut, diketahui bahwa shalat malam dan tahajjud adalah hal yang sama. Hanya beda istilah saja.

Banyak orang yang beranggapan bahwa untuk tahajjud, kita harus tidur terlebih dahulu. Anggapan ini kurang tepat karena tidur bukanlah 'keharusan' atau 'syarat sah'nya tahajjud.

Rasulullah salallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila kamu mengantuk ketika shalat, maka tidurlah terlebih dahulu sampai hilang rasa kantukmu. Karena bila kamu mengantuk dalam shalat, mungkin suatu ketika kamu bermaksud memohon ampunan kepada ALLAH, tetapi ternyata kamu justru memaki-maki diri kamu sendiri."
[HR. Bukhari 205, Muslim 1309]

Tidur terlebih dahulu adalah anjuran, bukan keharusan, karena waktu utama tahajjud adalah 1/3 terakhir malam agar kita tidak mengantuk dan kepayahan. Namun, semampu kita, tidur ataupun tidak tidur terlebih dahulu, shalat malam adalah ibadah yang sangat direkomendasikan karena banyak sekali keutamaannya.

Semoga Allah memudahkan kita mengamalkannya.


Tahajjud (Arabic: تهجد), yang juga disebut sebagai sholat malam” merupakan suatu sholat sunnah, yang dilakukan oleh pemeluk Islam. Sholat ini bukan merupakan sholat wajib lima waktu yang diharuskan bagi seluruh umat Muslim, walau begitu, nabi Islam, Muhammad S.A.W. diriwayatkan melakukan sholat ini di banyak waktu dan mendorong para sahabatnya untuk melakukannya untuk meraih banyak pahala dan keuntungan.
Bukti-bukti di dalam Al Qur’an akan sholat Tahajjud
Di dalam buku terkenalnya, Fiqh As-Sunnah, Sheikh Sayyid Sabiq memaparkan subyek Tahajjud sebagai berikut:
"Memerintahkan Rasul-Nya untuk melakukan sholat Tahajjud, Allah S.W.T. berfirman yang artinya:
* {Dan pada sebagian malam, lakukanlah sholat Tahajjud (sebagai suatuibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.}* (Al-Israa’ 17:79)
Perintah ini, walau pun ditujukan khusus kepada Muhammad (S.A.W), juga dimaksudkan kepada seluruh umat Muslim, dimana Mohammad (S.A.W) merupakan contoh sempurna dan panduan bagi seluruh umat di dalam segala hal.
Terlebih lagi, melakukan sholat Tahajjud terus-menerus akan mendorong seseorang dalam kebenaran dan menolong seseorang memperoleh karunia dan rahmat Allah S.W.T. Dalam memuji mereka yang melakukan sholat di tengah malam tersebut, Muhammad(S.A.W) mengatakan yang artinya:
* {Dan orang-orang yang menghabiskan waktu malam untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri}* (Al-Furqan 25:64)
Bukit-bukti di dalam Hadist
Disamping ayat-ayat Al Qur’an tersebut, terdapat juga beberapa hadist (yang diriwayatkan dan dikonfirmasikan secara tradisi dari Mohammad (S.A.W) yang memperkuat akan pentingnya Tahajjud.
Etiket dalam Sholat
Tindakan-tindakan berikut direkomendasikan bagi mereka yang hendak melakukan Sholat Tahajjud:  Setelah pergi tidur,  seseorang harus memiliki niat untuk melakukan Sholat.  Abu Ad-Darda' mengutip Muhammad(S.A.W) yang mengatakan:
“Siapapun yang pergi tidur dengan berkeinginan bangun dan melaksanakan sholat di waktu malam. tetapi, menjadi terlelap dalam tidurnya, gagal melakukan sholat, dia akan dicatat sebagaimana kehendaknya, dan tidurnya akan dihitung sebagai amal (tindakan yang dirahmati)) baginya dari Tuhan-nya.” (An-Nasa'i dan Ibn Majah)
Di waktu bangun, direkomendasikan bagi seseorang untuk membasuh mukanya, menggosok gigi, dan melihat ke langit dan berdoa sebagaimana yang dilaporkan dari Mohammad (S.A.W)
Abu Hudhaifa melaporkan:
"Kapan pun Nabi hendak pergi tidur, beliau akan membaca: (Dengan Nama-Mu, Ya Allah, Aku meninggal dan Aku hidup)." Dan ketika beliau bangun dari tidurnya, beliau akan berkata: (Segala puji adalah bagi Allah yang membuat kami hidup setelah Dia membuat kami mati (tidur) dan kepada-Nya-lah kami dibangkitkan)" (Al-Bukhari)
Seseorang harus memulai dengan dua raka’at pendek dan kemudian dapat berdoa apa pun yang dia harapkan setelahnya. `A’ishah mengatakan:
“Ketika Nabi melaksanakan sholat di waktu tengah malam, beliau akan memulainya dengan dua raka’at pendek.” (Muslim)
Direkomendasikan bagi seseorang untuk membangunkan anggota keluarganya, dimana Abu Hurairah melaporkan bahwa Mohammad (S.A.W) mengatakan:
“Semoga Allah memberkahi seseorang yang bangun di malam hari untuk sholat dan membangunkan istrinya dan siapa pun, jika dia menolak untuk bangun, cipratkan air pada mukanya. Dan semoga Allah memberkahi para wanita yang bangun di malam hari untuk sholat dan membangunkan suaminya dan, jika dia menolaknya, cipratkan air ke wajahnya.” (Ahmad)
Waktu yang direkomendasikan untuk Tahajjud
Tahajjud boleh dilaksanakan di awal sebagian malam, pertengahan sebagian malam, atau di akhir sebagian malam, tetapi diharuskan setelah Sholat Isya’ (sholat malam).
Dalam meng-komentari hal ini, Ibn Hajar mengatakan:
“Tidak ada waktu tertentu dimana Nabi (kedamaian dan keberkahan baginya) akan melaksanakan sholat tengah malamnya, tetapi dia selalu melaksanakan apa pun yang termudah baginya.”
Waktu Terbaik untuk Tahajjud
Adalah terbaik untuk menunda Sholat ini untuk sepertiga malam terkahir. Abu Hurairah mengutip Mohammad(S.A.W) yang mengatakan:
“Tuhan kita turun ke langit terendah selama sepertiga malam terakhir, dan bertanya: ‘Siapa yang akan memanggil-Ku sehingga Aku dapat menjawabnya? Siapa yang akan meminta sesuatu kepada-Ku sehingga Aku dapat memberikan padanya? Siapa yang meminta ampun kepada-Ku sehingga aku dapat mengampuninya?’” (Al-Bukhari)
`Amr ibn `Absah meng-klaim bahwa dia mendengar Mohammad (S.A.W) berkata:
“Yang terdekat bagi seorang hamba datang kepada Tuhan-nya adalah selama tengah malam sebagian malam terakhir. Jika kamu termasuk mereka yang mengingat Allah Yang Maha Esa pada saat tersebut, maka lakukanlah..” (At-Tirmidhi)
Jumlah Raka’at dalam Tahajjud
Sholat Tahajjud tidak disebutkan jumlah raka’at tertentu yang harus dilaksanakan, juga tidak ada batas maksimum yang diperbolehkan dilaksanakan. Sholat ini akan terpenuhi walau jika seseorang hanya melakukan sholat witir satu raka’at setelah sholat Isya’.
Sumber: wikipedia
Link-link yang berguna:
Qiyam Al-Layl: Merits & Significance


Kumpulan e-Book Fiqh Islam, Silahkan untuk mendownloadnya dengan catatan bukan untuk diperjual-belikan, silahkan manfaatkan demi menghidupkan ilmu-ilmu keislaman.



Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Membaca al Fatihah atau tidak bagi makmum di belakang imam, adalah masalah yang sering jadi perselisihan dan perdebatan, bahkan sampai-sampai sebagian ulama membuat tulisan tersendiri tentang hal ini. Perselisihan ini berasal dari pemahaman dalil. Ada dalil yang menegaskan harus membacanya dan ada dalil yang memerintahkan untuk membacanya. Di lain sisi, ada juga ayat atau berbagai hadits yang memerintahkan diam ketika imam membacanya. Dari sinilah terjadinya khilaf.

Dalil: Wajib Baca Al Fatihah di Belakang Imam
Dari ‘Ubadah b in Ash Shoomit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”.[1]
Dari Abu Hurairah, haditsnya marfu’sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهْىَ خِدَاجٌ
Barangsiapa yang melaksanakan shalat dan tidak membaca Al Fatihah di dalamnya, maka shalatnya itu kurang.” Perkataan ini diulang sampai tiga kali.[2]
Dalil: Wajib Diam Ketika Imam Membaca Al Fatihah
Berkebalikan dengan dalil di atas, ada beberapa dalil yang memerintahkan agar makmum diam ketika imam membaca surat karena bacaan imam dianggap sudah menjadi bacaan makmum.
Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’rof: 204)
Abu Hurairah berkata,
صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ « هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ». قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ « إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ ».
Aku mendengar Abu Hurairah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat subuh. Beliau bersabda: "Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?" Seorang laki-laki menjawab, "Saya. " Beliau lalu bersabda: "Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?"[3]
Dalil lainnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
Barangsiapa yang shalat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.[4] Hadits ini dikritisi oleh para ulama.
Hadits lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الإِمَامُ - أَوْ إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ - لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamd’. Jika imam sujud, sujudlah.[5] Dalam riwayat Muslim pada hadits Abu Musa terdapat tambahan,
وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
Jika imam membaca (Al Fatihah), maka diamlah.
Menempuh Jalan Kompromi (Menjama’)
Metode para ulama dalam menyikapi dua macam hadits yang seolah-olah bertentangan adalah menjama’ di antara dalil-dalil yang ada selama itu memungkinkan.
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata, “Jika dua hadits bertentangan secara zhohir, jika memungkinkan untuk dijama’ antara keduanya, maka jangan beralih pada metode lainnya. Wajib ketika itu beramal dengan mengkompromikan keduanya terlebih dahulu.”
Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah, ketika menjelaskan metode menggabungkan dalil-dalil, berkata, “Kami katakan, pendapat yang kuat menurut kami adalah melakukan jama’ (kompromi) terhadap dalil-dalil yang ada karena menjama’ dalil itu wajib jika memungkinkan untuk dilakukan.”
Menggabungkan atau mengkompromikan atau menjama’ dalil lebih didahulukan daripada melakukan tarjih (memilih dalil yang lebih kuat) karena menjama’ berarti menggunakan semua dalil yang ada (di saat itu mungkin) sedangkan tarjih mesti menghilangkan salah satu dalil yang dianggap lemah. Demikian pelajaran yang sudah dikenal dalam ilmu uhsul. Sehingga lebih tepat melakukan jama’ (kompromi) dalil selama itu masih memungkinkan.
Penjelasan Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya hukum membaca Al Fatihah di belakang imam. Beliau mengatakan bahwa para ulama telah berselisih pendapat karena umumnya dalil dalam masalah ini, yaitu menjadi tiga pendapat.
Dua pendapat pertama adalah yang menyatakan tidak membaca surat sama sekali di belakang imam dan yang lainnya menyatakan membaca surat dalam segala keadaan. Pendapat ketiga yang dianut oleh kebanyakan salaf yang menyatakan bahwa jika makmum mendengar bacaan imam, maka hendaklah ia diam dan tidak membaca surat. Karena mendengar bacaan imam itu lebih baik dari membacanya. Jika makmum tidak mendengar bacaan imam, barulah ia membaca surat tersebut. Karena dalam kondisi kedua ini, ia membaca lebih baik daripada diam. Satu kondisi, mendengar bacaan imam itulebih afdhol dari membaca surat. Kondisi lain, membaca surat lebih afdhol daripada hanya diam. Demikianlah pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad bin Hambal, para ulama Malikiyah dan Hambali, juga sekelompok ulama Syafi’iyah dan ulama Hanafiyah berpendapat demikian. Ini juga yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i yang terdahulu dan pendapat Muhammad bin Al Hasan.
Jika kita memilih pendapat ketiga, lalu bagaimana hukum makmum membaca Al Fatihah di saat imam membacanya samar-samar, apakah wajib atau sunnah bagi makmum?
Ada dua pendapat dalam madzhab Hambali. Yang lebih masyhur adalah yang menyatakan sunnah. Inilah yang jadi pendapat Imam Asy Syafi’i dalam pendapatnya terdahulu.
Pertanyaan lainnya, apakah sekedar mendengar bacaan Al Fatihah imam ketika imam menjahrkan bacaannya wajib, ataukah sunnah? Lalu bagaimana jika tetap membaca surat di belakang imam ketika kondisi itu, apakah itu haram, atau hanya sekedar makruh?
Dalam masalah ini ada dua pendapat di madzhab Hambali dan lainnya. Pertama, membaca surat ketika itu diharamkan. Jika tetap membacanya, shalatnya batal. Inilah salah satu dari dua pendapat yang dikatakan oleh Abu ‘Abdillah bin Hamid dalam madzhab Imam Ahmad. Kedua, shalat tidak batal dalam kondisi itu. Inilah pendapat mayoritas. Pendapat ini masyhur di kalangan madzhab Imam Ahmad.
Ibnu Taimiyah rahimahullah selanjutnya mengatakan,
Yang dimaksud di sini adalah tidak mungkin kita beramal dengan mengumpulkan seluruh pendapat. Akan tetapi, puji syukur pada Allah, pendapat yang shahih adalah pendapat yang berpegang pada dalil syar’i sehingga nampaklah kebenaran.
Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapat yang ada. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam.[6]
Pembelaan
Dalil yang menunjukkan bahwa bacaan imam juga menjadi bacaan bagi makmum dapat dilihat pada hadits Abu Bakroh di mana dia tidak disuruh mengulangi shalatnya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Al Hasan, dari Abu Bakroh bahwasanya ia mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ruku’. Lalu Abu Bakroh ruku’ sebelum sampai ke shof. Lalu ia menceritakan kejadian yang ia lakukan tadi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
Semoga Allah menambah semangat untukmu, namun jangan diulangi.[7]
Lalu bagaimana dengan hadits,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”.[8]
Ada dua jawaban yang bisa diberikan:
  1. Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah tidak sempurna shalatnya. Yang menunjukkan maksud seperti ini adalah dalam hadits Abu Hurairah disebutkan “غير تمام”, tidak sempurna.
  2. Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah dalam shalatnya, namun ini berlaku bagi imam, orang yang shalat sendiri dan makmum ketika shalat siriyah (yang tidak dikeraskan bacaannya). Adapun makmum dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaannya), maka bacaan imam adalah bacaan bagi makmum. Jika ia mengaminkan bacaan Al Fatihah yang dibaca oleh imam, maka ia seperti membaca surat tersebut. Maka tidak benar jika dikatakan bahwa orang yang cuma menyimak bacaan imam tidak membaca surat Al Fatihah, bahkan itu dianggap membaca meskipun ia mendapati imam sudah ruku’, lalu ia ruku’ bersama imam.
Catatan: Sebagaimana penulis pernah membaca dari penjelasan Syaikh Sholeh Al Munajjid dalam Fatawa Islam As Sual wa Jawab: Seseorang dianggap mendapatkan satu raka’at ketika ia mendapati ruku’, meskipun ketika itu  ia belum sempat membaca Al Fatihah secara sempurna atau ia langsung ruku’ bersama imam.
Pendapat Hati-Hati
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah memilih pendapat yang hati-hati dalam masalah ini. Dalam Al Mulakhosh Al Fiqhi, beliau mengatakan, “Apakah membaca Al Fatihah itu wajib bagi setiap yang shalat (termasuk makmum ketika imam membaca Al Fatihah secara jahr, pen), ataukah hanya bagi imam dan orang yang shalat sendiri?” Kemudian jawab beliau hafizhohullah, “Masalah ini terdapat perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang hati-hati, makmum tetap membaca Al Fatihah pada shalat yang imam tidak menjahrkan bacaannya, begitu pula pada shalat jahriyah ketika imam diam setelah baca Al Fatihah.”[9]
Menurut penulis, pendapat yang menempuh jalan kompromi seperti yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah itu pun sudah cukupahsan (baik). Namun penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan di atas sengaja penulis tambahkan supaya kita lebih memilih pendapat yang lebih hati-hati agar tidak terjatuh dalam perselisihan ulama yang ada. Wallahu Ta’ala a’lam.[10]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!